Jujur, berapa banyak dari kalian yang di rumahnya rajin menonton sinetron? Pernahkah kalian berpikir bahwa saat ini, dunia persinetronan Indonesia terus mengalami kemunduran yang amat fatal? Berikut ini 4 alasan utamanya:
1. Tema percintaan yang membosankan
Pernah dengar kisah ini?
Emon sedang asyik menyetir mobil Jaguarnya ketika tiba-tiba Endang melintas tepat di depannya menggunakan sepeda. Keduanya bertabrakan. Emon mengumpat-umpat dan memaki-maki Endang, tapi belum ada 15 menit sinetron itu dimulai, mereka bertemu lagi di sebuah pasar swalayan dan menyadari bahwa mereka punya perasaan yang sama…
Oh, oke. Nggak persis sama seperti itu, sih haha. Tapi kondisinya mirip-mirip lah. Ada cewek miskin, tapi bening, ketemu cowok tampan anak pengusaha antah berantah. Berantem-beranteman, konflik-konflikan, terus… voila! Mereka jatuh cinta. The End.
Atau…
Bebi dan Noni berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda. Bebi anak orang kaya sedangkan Noni hidup miskin bersama orang tuanya yang pembantu. Keduanya bermusuhan dan ternyata memendam cinta yang sama kepada Joni. Ternyata eh ternyata.. Bebi dan Noni adalah puteri yang ditukar-tukar oleh tetangganya..! Nah loh… Runyam deh tuh. Tapi pastilah kisah ini berakhir dengan happy ending entah bagaimana semrawut jalan ceritanya --_--
Hmmmmmm…. Bosenin banget nggak sih?
Tampaknya para penulis naskah sinetron mulai kehabisan akal untuk menciptakan cerita yang kreatif dan inovatif. Memang persoalan hati selalu menarik untuk dibicarakan, tapi halooooooo… Ini sudah 2011!! Memangnya nggak ada tema lain yang bisa diulas, ya? Padahal tema tentang persahabatan, bisnis, kisah sukses tokoh-tokoh ternama dll bisa jadi alternatif baru yang menarik untuk dijadikan sebuah cerita sinetron. Sayangnya, dengan alasan rating blablabla dan semacamnya, berbagai stasiun tv lebih memilih untuk membodohi masyarakat dengan menampilkan sinetron membosankan dan mendayu-dayu seperti ini.
2. Musik latar yang monoton
Ah, ini lagi. Dengan alasan menghemat biaya produksi, satu music background bisa dipakai di beberapa judul sinetron. Agak sedih juga sebenarnya mendengar kalimat ini… Bertambah sedih lagi tiap mendengar music latar yang berbunyi “jreng jreng jreng” tanpa ada inovasi baru…
Jauh berbeda dengan industri drama Korea yang selalu ‘modal’ dalam menyajikan musik latar. Bagi mereka, musik tersebut merupakan elemen pendukung yang berperan penting dalam memainkan emosi pemirsa, jadi tiap scene membutuhkan musik latar yang benar-benar sesuai kebutuhan. Kenapa kita mesti malu belajar dari mereka?
3. Zoom-in zoom-out, zoom-in zoom out
Sejauh yang saya pelajari di mata kuliah produksi Videografi, ada banyak variasi angle kamera, mulai dari long shot sampai close up. Variasi tersebut salah satunya berfungsi untuk menghilangkan kejenuhan penonton. Saya pun berpikir bahwa teknik tersebut pastinya diterapkan di lapangan oleh mereka yang bekerja di industry pertelevisian, namun apa daya, sejak saya duduk di bangku SD hingga sekarang, rasanya beberapa stasiun televisi masih menerapkan cara-cara lama.
Jika si tokoh antagonis marah besar, mukanya segera di zoom dan di close-up berkali-kali, bergantian dengan muka tokoh protagonis. Begitu terus tiap 15 menit! hahaha.. Lucu sekaligus ironis Tidak ada kreasi dan inovasi = mati?
4. Tokoh cerita nggak realistis!
Era Si Doel anak sekolahan udah berakhir dan Mandra adalah icon terakhir kebangkitan sinetron Indonesia. Kenapa saya bilang terakhir? Karena setelah Mandra, nggak ada lagi tuh icon tokoh sinetron yang mukanya ‘wajar’. Wajar dalam artian wajahnya banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari
Bandingkan dengan tokoh sinetron Indonesia saat ini yang wajahnya HARUS dan PASTI ganteng atau cantik, dan biar kata di sinetron dia jadi gembel, teteup aja mukanya mulus putih bersinar nggak ada cacat sama sekali. Bukannya sirik, tapi ini nggak realistis banget, toh? Agaknya sulit menemukan di kehidupan nyata, orang-orang yang dari keluarga, teman-teman, tetangga, sampai tukang ojek di depan rumahnya berwajah rupawan semua. Jelas nggak nyata banget karena dunia persinetronan saat ini CUMA MENJUAL MIMPI.
Ini mungkin penyebab utama mengapa banyak orang dari desa berbondong-bondong datang ke Jakarta setiap tahunnya. Mungkin mereka berharap di tengah jalan nanti bertemu dengan pangeran tampan yang mungkin saja jatuh cinta dan menikahi mereka, tinggal di rumah bak istana, dan ke mana-mana diantar-jemput pakai mobil sport. Padahal kenyataan hidup mereka berbanding terbalik 180o, dan ini menyebabkan culture shock!
Tidakkah para penulis naskah itu tau betapa besar dampak sosial yang dihasilkan oleh cerita mereka??? Dan tidakkah para pemilik stasiun TV itu sadar bahwa mereka telah menjerumuskan moral sebagian besar masyarakat Indonesia yang tinggal di pedesaan??!? Bukan lebay, tapi ini adalah fakta! Gimana negara ini mau maju, wong mental rakyatnya dibikin memble tiap prime time?
Celotehan saya ini bukan berarti saya membenci 100% sinetron Indonesia.. Nggak. Saya pun masih menghargai sinetron, sejauh itu bisa diterima oleh akal sehat manusia. Tengoklah sinetron Keluarga Cemara dan Si Doel dulu…. Selain jalan ceritanya yang membumi, ada pesan moral yang terkandung di dalamnya. Selain itu, sinetron Bunda yang diperankan oleh Meriam Bellina juga menurut saya adalah sinetron yang bagus. Sayangnya, semakin ke sini, dunia persinetronan kita semakin tergerus budaya rating dan sebagainya, sehingga unsur pesan moral dan cerita yang membumi mulai dikesampingkan.
Berbahaya? Jelas. Tapi yang dapat kita lakukan hanyalah memboikot acara tersebut dengan TIDAK ikut menontonnya, selama berbagai stasiun televisi tersebut masih menayangkan sinetron yang tidak mendidik. Mungkin akan membutuhkan waktu lama sampai mereka sadar bahwa rating bukan segalanya, tapi jangan patah arang dulu.
Pasti masih ada harapan, walaupun entah kapan.
Jumat, 06 Januari 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar