Pages

Ads 468x60px

Labels

Kamis, 19 Januari 2012

Sikap Seorang Pemikir yang Kritis

Berpikiran terbuka adalah salah satu sikap yang harus dimiliki seorang pemikir kritis. Sebagai penyeimbangnya, seorang pemikir kritis juga mesti skeptis.

Oleh Robert Todd Carrol, 2004
“Sebuah pikiran yang luas tidak dapat digantikan dengan kerja keras”
–Nelson Goodman_
“Baik guru dan pelajar tidur di kamar mereka masing-masing saat tidak ada musuh di lapangan.”
–John Stuart Mill, On Liberty


Seorang pemikir kritis bukan orang yang dogmatis bukan pula orang yang ceroboh. Ciri yang paling jelas dari sikap seorang pemikir kritis adalah keterbukaan pikiran dan skeptisme. Karakteristik ini tampaknya kontradiktif bukannya saling melengkapi. Di satu sisi, seorang pemikir kritis diharapkan mempertimbangkan sudut pandang yang berbeda dari sudut pandangnya sendiri. Di sisi lain, seorang pemikir kritis diharapkan mengenali klaim mana yang tidak memenuhi penyelidikan. Juga, kadangkala apa yang tampak seperti berpikiran terbuka sebenarnya kecerobohan dan apa yang tampak seperti skeptisme sebenarnya berpikiran tertutup. Bagi anda, anda berpikiran terbuka saat anda menghadapi sang paranormal mengenai bom di pesawat. Bagi bos anda, anda orang yang ceroboh. Di sisi lain, bila anda mengabaikan klaim sang paranormal dan menganggapnya berkhayal walaupun ia bermaksud membuktikan kemampuan paranormalnya dengan membaca pikiran anda, maka anda telah melintasi batas dari skeptisisme yang sehat menuju ke pemikiran yang tertutup.

Untuk ahli dan adil dalam mengevaluasi keyakinan dan perbuatan, anda perlu mencari berbagai sudut pandang dan posisi dalam isu yang ingin kita nilai. Berpikiran terbuka berarti bersedia memeriksa isu dari sebanyak mungkin sudut pandang, memeriksa point yang baik dan buruk dari beragam sisi yang akan diperiksa.
Salah satu tujuan dalam memeriksa posisi dan penalaran orang lain harusnya memburu kebenaran bukannya mencari kesalahan. Berpikiran terbuka tidak berarti semata mendengarkan atau membaca sudut pandang yang berbeda dari diri sendiri. Ini artinya menerima kalau orang lain dapat memikirkan sesuatu yang kita lebihkan atau kalau kita sendiri bisa salah. Ini mungkin menyakitkan, namun harus anda akui kalau boss anda telah membawa point yang bagus saat ia mengingatkan anda kalau tidak ada bukti ada yang mampu menggunakan kekuatan paranormal untuk menemukan bom di pesawat. Anda harus akui kalau anda salah karena tidak mempertimbangkan fakta ini.

Sebagian besar dari kita memiliki sedikit kesulitan dalam berpikiran terbuka mengenai masalah-masalah yang tidak penting bagi kita. Dalam kasus demikian, kemungkinan kalau kita salah tidaklah terlalu mengancam. Bila kita salah, kita dapat merubah pikiran kita tanpa merasa malu atau dipermalukan. Namun bila isu ini erat kaitannya dengan kita atau yang kita merasa keterikatannya kuat dengan kita, menjadi lebih sulit bagi kita untuk berpikiran terbuka. Semakin sulit untuk menerima fakta kalau kita mungkin salah atau bahwa pandangan lain mungkin lebih masuk akal daripada kita.

Bagaimana kita mengatasi kecenderungan untuk berpikiran tertutup pada isu yang penting? Pertama, kita harus mengatasi perasaan terancam saat sebuah keyakinan dilawan. Salah satu cara mengatasi perasaan ini adalah mencari sendiri keyakinan yang paling masuk akal dan cara paling masuk akal untuk bertindak.
Mendekati semua isu penting dengan pandangan untuk meningkatkan keyakinan anda tidak berarti kalau anda harus berpikir kalau pandangan anda salah. Ia memang menunjukkan kalau anda harus mampu mundur dari keyakinan anda untuk mengevaluasinya bersama dengan sudut pandang lain. Pastinya, setiap orang perlu seperangkat keyakinan untuk hidup secara bermakna. Namun, bila keyakinan tersebut tidak fleksibel dan tidak dapat berubah, kekakuannya sendiri akan melawan anda saat anda paling memerlukannya, yaitu di saat krisis pribadi.

Menjadi seorang pemikir kritis, dengan kata lain, memerlukan lebih dari sekedar menguasai sederetan keahlian; ia membutuhkan semangat atau sikap tertentu. Kadang semangat ini salah dipandang sebagai negatif semata. Sungguh, manfaat utama penggunaan kata ‘kritis’ adalah untuk menunjukkan sebuah titik untuk menemukan kesalahan atau menilainya dengan besar-besaran. Namun mengungkapkan kesalahan atau keburukan dalam penalaran sendiri atau orang lain hanyalah sebagian dari berpikir kritis. Seseorang harus menyuburkan skeptisme yang sehat bersama dengan kemampuan untuk berpikiran terbuka, khususnya saat mempertimbangkan sudut pandang yang bertentangan dengan diri sendiri. Terlalu banyak skeptisme membawa pada keraguan atas segalanya dan tidak membawa kemana-mana; terlalu sedikit skeptisme membawa pada kecerobohan. Kita tidak mesti terlalu menuntut sehingga kita menjadi yakin atau melakukan tindakan hanya bila kita mutlak tahu kalau kita benar. Di sisi lain, kita tidak boleh menerima klaim semata karena orang yang membuat klaim tampak “normal” atau karena mayoritas atau para ahli atau host acara talk show mengatakannya.

Di sisi lain, berpikiran terbuka tidak berarti kalau seseorang punya kewajiban untuk memeriksa setiap gagasan atau klaim yang dibuat. Sebagai contoh, saya telah mempelajari klaim keghaiban dan supernatural selama bertahun-tahun. Saat seseorang mengatakan alien telah menculiknya, namun ia tidak memiliki bukti fisik penculikannya, Saya tidak merasa perlu menyelidiki isu ini lebih mendalam. Namun bila satu-satunya bukti penculikan ini adalah bahwa orang yang diculik tidak ingat apa yang terjadi dengannya beberapa jam atau hari dan ia memiliki tanda di tubuhnya yang ia tidak dapat jelaskan – klaim umum orang yang merasa diculik – maka kecenderungan saya ada pada penjelasan alami atas hilangnya ingatan dan mengenai tanda tersebut. Ia mungkin berbohong karena ia tidak ingin orang lain tahu dimana ia waktu itu berada; atau ia menyingkirkan penyebab alami atau yang dibuatnya sendiri lalu kemudian bermimpi atau berkhayal. Sebagian besar dari kita memiliki goresan dan memar yang tidak kita ketahui asalnya. Apakah Saya berpikiran tertutup? Saya rasa tidak. Walau begitu, bertahun-tahun yang lalu, saat saya mendengar tentang UFO dan penculikan alien pertama kalinya, saya mungkin berpikiran tertutup dan tidak menyelidikinya. Saat seseorang mempelajari sebuah isu secara mendalam, berpikiran terbuka tidak berarti kalau anda harus membiarkan pintu terbuka dan membiarkan semua gagasan masuk untuk menyingkirkan jalan anda. Kewajiban anda satu-satunya adalah tidak mengunci pintu di belakang anda.

Seseorang yang berpikiran terbuka yang tidak berpengalaman dan tidak berpengetahuan mesti bersedia menyelidiki masalah yang tidak perlu diselidiki oleh orang yang berpengalaman dan berpengetahuan. Seorang pemikir kritis harus menemukan hal-hal untuknya sendiri, namun saat ia telah menemukannya ia tidak boleh menjadi berpikiran tertutup semata karena pendapatnya kini berpengetahuan! Jadi, lain kali anda mendengar seorang pendukung proyeksi astral, regresi kehidupan lalu, atau penculikan alien menuduh seorang skeptik berpikiran tertutup, coba pikirkan kemungkinan kalau sang skeptik tidak berpikiran tertutup. Mungkin ia telah tiba pada keyakinan yang berpengetahuan. Juga mungkin kalau sang penuduh adalah pendebat yang cerdas yang tau kalau menyerang seorang lawan dengan tuduhan berpikiran tertutup sering merupakan taktik yang sukses dalam seni persuasi.

Ada beberapa isu yang tidak mungkin membuat seseorang menjadi berpikiran terbuka. Saya memikirkan isu yang bukan, dengan meminjam istilah William James, pilihan yang hidup. Tidak mungkin bagi saya untuk mempertimbangkan secara serius klaim kalau Muhammad adalah Nabi, lebih dari kemungkinan bagi seorang Muslim mempertimbangkan kalau Siddhartha Gautama adalah inkarnasi ilahi. Sebelum seseorang dapat berpikiran terbuka dalam arti yang kita bahas disini, sebuah isu harus hidup bagi orang tersebut. Isu ini harus berada dalam lingkup keyakinan yang mungkin pada orang tersebut. Walau begitu, bahkan bila sebuah keyakinan bukan pilihan hidup bagi anda, adalah mungkin untuk berpikiran cukup terbuka untuk mencoba memahami apa yang membuat orang memiliki keyakinan tersebut. Tidak mungkin bagi saya percaya kalau Muhammad adalah Nabi, namun mungkin bagi saya untuk memahami terdiri dari apa sajakah keyakinan tersebut. Saya dapat mempelajari Islam, mendengarkan seorang muslim, dan mencoba memahami keyakinan mereka.

Saya akan mencoba mengklarifikasikan hubungan kompleks antara keterbukaan pikiran dan skeptisme dalam contoh lain, yang diambil dari seorang guru berpikir kritis, Connie Misimer. Ia menceritakan kisah di sebuah konferensi berpikir kritis. Seorang siswa percaya kalau mengucapkan sebuah mantra (frase yang diulang-ulang, seperti “Gopaugovinda, Gopaugovinda….”) saat ia berkendara mencari ruang untuk parkir akan membuatnya menemukan tempat parkir yang kosong. Sebagian besar guru berpikir kritis akan skeptik pada klaim kalau sebuah ucapan akan berpengaruh pada lalu lintas atau ruang parkir. Kita tidak akan menyelidiki klaim demikian karena kita akan menganggapnya absurd atau trivial begitu saja: absurd bila klaim kalau mengucapkan mantra menyebabkan ruang parkir terbuka; trivial bila ia berarti kalau ia selalu menemukan ruang parkir untuk mobilnya. Beberapa guru mungkin mengejek sang siswa karena ceroboh. Ibu Misimer, walau begitu, mengambil pendekatan lain. Ia menyarankan siswanya membuat percobaan terkendali untuk menguji klaimnya. Sang siswa dapat, misalnya, mengucapkan mantra sebarang hari secara acak dan mencatat apakah ia lebih sukses dalam hari dimana ia mengucapkan mantra. Ia perlu bantuan beberapa siswa lain untuk melakukan hal yang sama. Mereka dapat membandingkan catatan setelah beberapa minggu dan melihat apakah ada perbedaan dalam tingkat kesuksesan. Saya tidak perlu menjelaskan secara detil bagaimana hal ini membawa pada siswa yang akan memeriksa klaimnya secara kritis, dan menemukan sendiri klaim ini salah atau trivial. Point kuncinya adalah bahwa siswa tersebut mesti cukup berpikiran terbuka untuk bersedia menguji keyakinannya. Yang lain dengan pengalaman dan pengetahuan lebih banyak tidaklah berpikiran tertutup, walaubegitu, semata karena mereka tidak menguji klaimnya sendiri. Lebih jauh, semata menganggap klaim orang lain itu konyol, seberapapun benarnya pandangan tersebut, akan menutup perkembangan pemikiran kritis.

Kita perlu hati-hati agar tidak menjadi begitu cinta dengan keyakinannya sehingga ia tidak mampu mengenali saatnya untuk berubah. Ingat kalau Swiss lah yang menemukan jam tangan quartz namun gagal mempatenkannya karena mereka yakin dunia akan selalu membeli alat mekanik tradisional yang begitu ahli diproduksi Swiss. Kegagalan berpikiran terbuka untuk mempertimbangkan bahwa jam tangan quartz akan menjadi sangat populer membuat Swiss kehilangan miliaran dolar dan ribuan pekerjaan.

Akhirnya, sikap dari pemikir kritis harus ditandai oleh kerendahan hati intelektual. Apapun yang pada akhirnya kita yakini harus dipandang bersifat sementara (tentatif). Kita harus selalu siap memeriksa bukti dan argumen baru, bahkan bila pemeriksaan kita menemukan kalau keyakinan kita ternyata salah. Singkatnya, kesombongan, seperti dicatat oleh Socrates, tidak menguntungkan pemikir yang kritis. Walau begitu, seperti yang akan kita lihat, memiliki sifat yang benar belum cukup. Ada banyak faktor yang membatasi atau menutupi keinginan kita untuk menjadi pemikir kritis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Sample Text

NikiComic