Pages

Ads 468x60px

Labels

Kamis, 12 Januari 2012

Menurut Doktor S3 Maniak Popularitas ini, Tuhan Mengatur Alam Dengan Cara Melempar Dadu

Tergelitik oleh postingan beberapa kawan kompasianer yang mencoba mengoplos filsafat, biomolekul, ketuhanan dan fisika quantum, saya jadi ingin ikut meramaikan dengan wacana yang agak mirip—(atau jangan-jangan sama?). Tentunya dengan menu oplosan yang sedikit lebih menantang untuk diselami dan dieksplorasi (setidaknya bagi diri saya sendiri, sukur-sukur kalau ada yang berkenan berdiskusi).

Bukan karena sekarang menjelang Natal. Samasekali bukan. Keinginan untuk membuat tulisan ini sesungguhnya sudah berbulan-bulan yang lalu—tetapi karena ada ada saja fenomena menarik di kompasiana jadinya tertahan, hari ini saya tulis. Keinginan itu muncul tepatnya ketika debat wacana ini menghangat lagi di forum-forum luar sana. Dengan gagah dan lantangnya Prof. DR. Michio Kaku (sorang guru besar Fisika Teori yang mendalami fisika kuantum, khususnya “time-travel”) berteriak “Albert Einstein keliru!

Penemu E=MC2 itu dipersalahkan oleh doktor berdarah samurai kelahiran negerinya George Washington ini, terkait dengan pernyataanya yang berimplikasi pada pehaman sebuah konsep terkenal yang disebut “Freewill”—sebuah konsep yang selalu menjadi perdebatan berbagai kalangan dari masa-ke-masa yang hingga kini tiada ujungnya.

Menjadi perdebatan tiada akhir lantaran konsep yang didefinisikan sebagai “the ability of agents to make choices free from certain kinds of constraints” (kemampuan agen menentukan pilihan tanpa dipengaruhi oleh hambatan tertentu) ini menimbulkan implikasi yang luas dalam berbagai ranah kehidupan—religiusitas (kerohanian), etika hingga sains.

Itu sebabnya mengapa konsep “freewill” yang tadinya hanya dibahas oleh para filsuf, beberapa abad kebelakang dikaji oleh berbagai kalangan lintas bidang keilmuan—mulai dari filsafat, keagamaan, psikologi, biomolekul, hingga fisika kuantum.

Yang namanya perdebatan sudah pasti karena adanya PRO-dan KONTRA terhadap konsep ini (sebenarnya, ada 4 pihak dengan pendapat berbeda mengenai freewill, tetapi untuk penyederhanaan saya bikin menjadi, PRO-dan-KONTRA saja:

1. Mereka yang PRO meyakini bahwa: “Freewill itu memang ada”—jika dikaitkan dengan manusia, maka ini artinya: menusia MEMILIKI kemampuan penuh untuk melakukan apa saja yang ingin dilakukannya secara bebas, tanpa hambatan apapun”

2. Mereka yang KONTRA meyakini bahwa: “Freewill itu tidak ada”— jika dikaitkan dengan manusia, maka ini artinya: menusia TIDAK-MEMILIKI kemampuan penuh untuk melakukan apa saja yang ingin dilakukannya secara bebas. Ada constraints (hambatan) yang membuat hal itu menjadi tidak mungkin.”
(Catatan: Sengaja saya tidak merinci alasan-alasan dari masing-masing pihak, baik yang pro maupun kontra, karena akan menjadi tulisan yang sangat panjang—mungkin bisa jadi satu buku, hehehehe. Tetapi sambil jalan mudah-mudahan pembaca memperoleh gambaran yang jelas mengenai konsep dan pokok persoalan yang diperdebatkan berabad-abad ini).

Berbeda dengan para filsuf yang hingga kini masih belum menemukan titik temu, kaum agamais SUDAH menentukan kesimpulan final, yang pada dasarnya mengamini pendapat mereka yang PRO—tentunya bukan karena terpengaruh oleh mereka yang PRO, melainkan karena memang secara prinsipiil sebagian besar ajaran keagamaan dengan tegas menyatakan bahwa:
Manusia (dengan akal budinya) memiliki kemampuan untuk melakukan apa yang ingin dilakukannya—tanpa kekangan apapun, tetapi sang maha pencipta (TYME) akan menentukan ganjaran apa yang pantas diterima atas apa yang dilakukan oleh mereka. Entah itu berupa hukuman atau berkat

Di tahun 1925, Werner Heizenberg, seorang fisikawan teori, yang dianugrahi nobel fisika oleh Albert Einstein di tahun 1933, bersama dengan koleganya (Max Born & Fascual Jordan) menyusun matrik kuantum mekanik untuk pertamakalinya. Heizenberg sendiri sesungguhnya konon tidak terlalu menguasai matriks matematika—yang banyak digunakan dalam menyusun matriks kuantum mekanik, tetapi berkat bantuan Max Born-lah makan matriks kuantum yang disusun mengantarkan dirinya menjadi pemenang nobel.

Secara sederhana teori kuantum mekanik, menyatakan bahwa: “partikel yang berkarakter menyerupai gelombang, hingga ke ukuran yang bahkan lebih kecil dari atom, sesungguhnya bergerak bebas. Dan gerakannya tidak bisa diperidiksi secara pasti.” Atau dengan kata lain ada “ketidak pastian” (uncertainty.)
Albert Enstein sendiri, yang sesungguhnya juga merupakan penyusun teori kuantum fisika (yang saat ini lebih dikenal dengan istilah “Classical Quantum” untuk membedakannya dengan quantum mekanik-nya Heizenberg yang dianggap lebih moderen karena menjangkau hingga ke partikel terkecil), konon TIDAK SEPAKAT dengan teorinya Heizenberg.

Bagi Einstein, apa yang dilihat oleh Heizenberg sebagai gerakan bebas tak beraturan sesungguhnya “HANYA ILUSI”. Saking tidak setujunya, Einstein sampai mengungkapkannya dengan kalimat “My God does not play with dice”—jika saya terjemahkan secara harfiah, artinya kurang lebih: “Tuhan saya tidak main dadu”.

Jika dikaitkan dengan aspek manusia dan religiusitas-nya, Einstein menyatakan bahwa Tuhan-nya (Einstein) tidak menentukan segala sesuatunya dengan cara “untung-untungan” alias tidak menentu (uncertain). Melainkan telah ditentukan olehNYA, jauh-jauh sebelumnya, dengan menggunakan “hukum-sebab-akibat”, pre-determined by the causality law.
Dengan kalimat sederhana, Einstein menyatakan bahwa: apa yang dialami oleh ciptaanNYA (baik itu kemalangan maupun keberuntungan) adalah sesuatu yang telah pasti, telah terdeterminasi sebelumnya (akibat pengaruh hukum atau dalil kausalitas).

Sejak saat itu, banyak kalangan yang melabel Enstein dengan stempel ATHEIS.
ENTAH APA LATAR BELAKANG PEMIKIRANNYA, di bulan April 2011, DR. Michio Kaku—yang dimata saya saya pribadi lebih mirip selebiriti haus popularitas ketimbang seorang ilmuwan—menggunggah video (di YouTube) yang mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Einstein adalah kekeliruan, “Hey, Einstein was wrong!”, lalu menghubungkannya dengan konsep freewill—khususnya aspek psikologis, etika dan moralitas.
Lebih persisnya, DR. Kaku, melalui video berjudul “Why Quantum Physic Ends The Freewill Debate” dengan penuh percaya diri mengatakan (saya transalasikan, mudah-mudahan tidak ada kesalahan):
Penganut teori Newton mengatakan bahwa alam semesta ini adalah sebuah jam, sebuah jam besar yang muncul suatu ketika di masa lalu dan sejak saat it uterus berdetak sesui dengan hukum gerak Newton. Sehingga apa yang akan anda makan 10 tahun yang akan datang—persisinya tanggal 1 Januari, telah ditentukan secara pasti sebelumnya. Hal ini telah diketahui sebelumnya melalui hukum gerak Newton. Einstein percaya akan hal itu. Apakah itu berarti bahwa seorang pembunuh yang melakukan pembunuhan masal [penulis: saat ini], tidak bersalah karena apa yang dilakukannya saat ini telah ditentukan jutaan tahun yang lalu? Einstein mengatakan IYA, pembunuhan masal telah ditentukan sebelumnya secara pasti, TETAPI tetap saja perlu dimasukan ke bui.
Lalu muncul-lah Heizenberg dengan ‘Heisenberg-Uncertainty-Principle’-nya (penulis: Prinsip-Ketidakpastian-Heizenberg) dan mengatakan: “Tidak masuk akal. Ada ketidak pastian. Anda tidak tahu persis dimana posisi sebuah electron pada waktu tertentu. Bisa di sini bisa di situ, dan begitu terus secara simultan.” Tentu saja Einsten benci akan hal itu, oleh sebab itu maka dia mengatakan bahwa Tuhan mengatur dunia ini tidak dengan cara seperti main dadu. Tapi, hey, cobalah untuk membiasakan diri. Tuhan memang bermain dadu. Elektron terus bergerak setiap kali kita lihat. Ada ketidakpastian terkait dengan posisi electron.”
(Note: videonya kebetulan sudah saya upload di RecentDiscovery.com, blog yang baru saya rintis sejak awal Desember ini, silahkan di lihat jika penasaran).

Tanggapan saya pribadi (sebagai blogger abal-abal) terhadap pernytaan DR. Michio Kaku pada video tersebut:

[-]. Pertama, saya tak yakin apakah DR. Kaku pernah bercaka-cakap dengan Einstein, sehingga dia mengemas itu seolah-olah percakapan. Saya memperkirakan saat Einstein meninggal, DR. Kaku masih kanak-kanak, atau bisa jadi malah belum lahir. Jika tidak, apakah pantas seorang ilmuan melakukan menipulasi seperti itu—meskipun mungkin terlihat spele?

[2]. Kedua, dalam hati saya berpikir “benarkah DR. Kaku ini mendalami fisika kuantum—khususnya ‘time-travel’?” Mengapa saya bertanya demikian? Karena dari ilustrasi yang digunakan (pembunuhan masal—yang aroma provikasinya sangat kental—mencoba membenturkan hukum gerak Newton dengan moralitas), saya menangkap sesuatu yang sangat ‘Linier’, sementara apa yang saya pahami dari fisika kuantum—khususnya time travel, adalah sesuatu yang berdimensi. Tanpa dimensi, bagaimana ‘mesin waktu’ dari masa kini bisa menembus masa dimensi waktu di masa depan atau sebaliknya ke masa lalu? LagipulaEinstein-Podolsky-Rosen-paradox‘ dianggap seolah-olah hanya angin lalu oleh doktor yang kelihatannya lebih sering sibuk wawancara di media ketimbang di laboratoriumnya. Mengapa?
Nah, jika berdimensi, mestinya DR. Kaku sadar bahwa ketika dia pikir sebuah electron bergerak ke atas, bisa jadi sesungguhnya itu kebawah—karena jika arah atas diteruskan akan tiba di bawah—sesuai dengan hukum relativitas? Begitu juga saat dia melihat electron bergerak ke kanan, sesungghnya electron itu bergerak ke kiri—karena jika arah kanan diteruskan maka akan tiba di kiri?
Terkait dengan ‘time-travel’ yang mengacu pada kuantum mekanik: perjalanan ke masa depan jika diteruskan akan tiba ke masa lalu, demikian sebaliknya. Itu artinya, gerakan electron itu sesungguhnya hanya berputar-putar di sana saja, itu artinya juga: TERATUR, TELAH DITENTUKAN, bukan gerak bebas yang tidak bisa dideterminasi.

Yah. Apalah artinya pemahaman saya yang mungkin hanya setitik debu di gurun Sahara jika dibandingkan dengan ahli fisika (lha wong saya hanya bermodal mengingat-ingat pelajaran waktu di STM dahulu koq, bandingkan dengan Doktor, S3. ya jauh banget lah).
Itu sebabnya saya tidak berani menulis komentar, di video-nya Doktor Michio Kaku, lha orang yang debat di sana ilmuwan dan fisikawan semua. Disaping itu, sejak April 2011, video tersebut telah memperoleh 2000-an komentar, yang dengan sabar saya baca satu persatu secara estafet selama berhari-hari.

Diantara banyanya tanggapan, ada alah satu yang mengatakan bahwa:
Betul. Tubuh manusia terdiri dari electron-eletron, dan bisa jadi karakter/perilaku electron mewakili karakter tubuh manusia secara keseluruhan, berdasarkan genetik (biomolekul). Tetapi ada satu hal yang teramat penting—terkait dengan manusia—yang dilupakan oleh DR. Michio Kaku, yaitu: Unit (individu) manusia memiliki unsur yang tidak terdiri dari electron, yaitu: psikologis dan rasa.”

Bisa jadi tanggapan itu benar. Tetapi menurut saya ada satu hal yang mungkin tidak diketahui (atau tidak ingin diketahui) oleh ilmuwan seperti DR. Kaku, khususnya mengenai ‘Frewill’, yaitu: KEINGINAN (will), adalah sesuatu yang sudah kita ketahui—tak mungkin kita (manusia) menginginkan sesuatu yang tidak kita ketahui samasekali, bukan? Sedangkan apa yang sudah kita ketahui sudah pasti sesuatu yang ada di dalam alam semesta ini. Sementara, apa yang ada di dalam alam semesta ini mengikuti hukum tertentu—teratur dan pasti (siang, malam, musim, rotasi bumi, orbit, dan seterusnya).

KECUALI, DR. Michio Kaku atau Heizenberg melakukan percobaan electron (dan mekanik kuantumnya) DI LUAR ALAM SEMESTA INI, mungkin bisa terbebas dari hukum alam semesta yang memang berpola (bukan bergerak bebas tak menentu, tanpa arah pasti).
Atau…. jangan-jangan  prof Doktor S3 ini maniak popularitas?
Apakah anda setuju bahwa Tuhan mengatur alam semesta ini tak ubahnya seperti melempar buah dadu?
Dan, pertanyaan yang dari dahulu menggandol di otak saya: Benarkah Albert Einstein itu seorang atheis, seperti yang banyak dituduhkan? Atau sesungguhnya dia adalah seseorang yang super-religius? Jika religius, lalu apa agama Enstein yang sesungguhnya: Kristen, Islam, Katolik, Hindu, Budha, atau Kong Hu Cu? Menurut anda?

sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Sample Text

NikiComic