Pages

Ads 468x60px

Labels

Jumat, 23 Maret 2012

Kepada Ibu Guru Agama yang Saya Hormati

Kepada ibu guru yang terhormat,
Saya menyebut dengan “ibu” walaupun pesan ini juga ingin saya sampaikan kepada para “bapak guru”. Saya menyebut “ibu”semata-mata memang kasus yang saya hendak refleksikan di sini melibatkan seorang ibu guru agama, keponakan saya, dan kakak saya yang sangat bersungguh-sungguh memastikan bahwa anak sulungnya berada di asuhan pendidik yang cerdas lagi bijaksana.
Ibu, pagi ini kakak saya nampak kecewa, putranya yang sesungguhnya sangat kreatif dan penuh semangat, mendapat nilai yang sangat rendah dalam mata pelajaran agama Islam di sekolah. Kertas ujian hitam putih itu ia perlihatkan pada kedua orangtuanya, dengan keluguan karena ia belum memahami apa arti nilai “2″ yang tertulis tegas di sudut kertasnya dengan tinta merah. Saya pun bersyukur, ah, Alhamdulillah si cerdas kebanggan kami ini belum mengerti.
Ibu guru yang terhormat,
Soal ulangan agama Islam yang ibu berikan kepada keponakan saya itu menguji kemampuannya menghafalkan urutan Rukun Islam yang ada lima. Walapun dengan percaya diri saya dapat membela diri bahwa petunjuk pengerjaan soal yang Ibu berikan tidak cukup jelas sehingga ia tidak menjawabnya sesuai ekspektasi Ibu, namun ada hal lain yang sangat mengganggu batin saya.
Baru tiga minggu keponakan saya duduk dengan rasa bangga di bangku sekolah dasar. Baru tiga minggu ia begitu bersemangat membawa banyak buku ke sekolah, namun Ibu guru telah memberikan pengalaman yang membuat kami cemas: di SD, kamu harus banyak menghafal!
Maka tadi pagi saya mengecup kening keponakan saya yang putih itu sambil berkata dalam hati: “boy, belajar tidak semembosankan itu kok… Sabar ya…”
Saya berharap agar ia tidak merasa kecil hati karena tidak berminat untuk menghafal, Bu guru. Mohon maaf apabila semangat belajarnya tidak untuk mengahaf tetapi menghayati. Ah, lagipula, kita yang sudah tua inipun mahfum bahwa siapa yang bisa menjamin kalau mereka yang mampu menghafal hukum Islam adalah orang yang paling lurus hidupnya, bukankah hakim dan jaksa di negeri ini adalah orang-orang yang jauh lebih hafal pasal-pasal hukum daripada kita yang takut berbuat korupsi?
Ibu guru yang sangat saya hormati,
Izinkan saya menyampaikan hal yang paling saya cemaskan dibandingkan dengan hal-hal di atas.
Setiap angka yang Ibu bubuhkan pada hasil kerja anak didik Ibu, tentu ada maknanya, bukan? Saya bisa mengerti, apabila guru matematika memberikan saya nilai 10, yang merupakan nilai tertinggi, untuk ujian penjumlahan, misalnya; maka artinya saya sangat menguasai materi penjumlahan. Saya berkompeten untuk menjumlahkan angka-angka.
Apabila saya mendapat nilai 4 untuk bernyanyi, maka artinya saya memiliki suara sumbang yang tidak enak didengar.
Maka ketika Ibu memberikan keponakan saya nilai 2 untuk pelajaran agama Islam tentang Rukun Islam, apa makna nilai tersebut untuknya Bu?
Apakah artinya ia tidak cukup Islami?
Ah, bergetar hati saya menuliskan hal ini, Ibu. Karena anak itu seringkali berlari ke kamar saya membawa sajadah mininya setiap azan maghrib berkumandang, ia mengajak saya sholat berjamaah.
Apakah artinya ia tidak mampu mematuhi rukun Islam?
Wah, Ibu harus melihatnya di bulan Ramadhan tahun lalu. Kami seluruh keluarga besar sangat bangga dengan semangatnya berpuasa, ia sungguh-sungguh berjuang, memacu dirinya untuk menjadi lelaki muslim yang kuat.
Maka mungkin pertanyaan saya, Bu, adalah “mengapa begitu pentingnya bagi keponakan saya dan teman-temannya yang baru mencicipi nikmatnya pendidikan dasar itu, untuk menghafal tentang Islam, Bu?”
Mengapa tidak memulai mengajarkan indahnya agama kita itu dengan perbuatan saja, Bu? Dengan kebiasaan, dengan membangun budaya, sehingga tanpa dipaksa, pelan-pelan mereka faham di luar kepala, apa artinya menjadi umat Islam. Apa makna dan isi Rukun Islam.
Ibu guru yang saya hormati,
Maafkan kalau saya lancang bertanya dan mengkritik Ibu yang berpengalaman belasan tahun mengajarkan Islam. Apalagi saya meyadari betapa bau kencur masih menyelubungi diri saya yang baru belajar tentang pendidikan nilai, atau mungkin dalam istilah pendidikan agama adalah: akhlak. Saya masih jauh dari terampil untuk mendidik dan mengukur karakter seseorang. Namun rasanya saya juga tidak sepaham pada mereka yang mengukur kekuatan Iman dan Islam seseorang dari hafalannya.
Lalu, bagaimana menilainya? Kan rapot harus diisi dengan angka!
Memang Bu, pasti sulit sekali berada di posisi Ibu. Namun saya percaya, suatu saat nanti, tidak perlu ada menulis angka di rapot untuk pelajaran karakter, semoga suatu saat nanti ibu bisa berembuk dengan pengambil kebijakan di sekolah, agar cukup kita ajarkan anak-anak untuk menjalani dan menghayati agama mereka, tanpa harus dibiaskan dengan angka-angka. Cukup dengan bangga kita sampaikan pada orangtua mereka di akhir semester, bahwa anak-anak mereka semakin giat membuang sampah pada tempatnya, saling mengingatkan untuk kebaikan dan kebenaran, saling menjaga kehormatan dan mencintai satu sama lain.
Akhirnya, mohon maaf apabila saya menuliskan hal-hal yang menyinggung perasaan Ibu. Mohon maaf apabila saya mencintai keponakan saya sedemikian besarnya hingga saya ikut campur pada pendidikannya. Ah, rasanya kalau urusan pendidikan anak bangsa ini, saya selalu ingin ikut campur bu :)
Mohon maklum, dan terima kasih atas bimbingan Ibu. Semoga keikhlasan dan ikhtiar Ibu selalu diberkahi-Nya, amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Sample Text

NikiComic